Bjorka Shinta

Oleh: Dahlan Iskan

AWALNYA saya mau menulis soal peretasan data. Yang lagi ramai itu. Tapi saya tidak tahu banyak dunia itu. Saya ingin menelepon seseorang. Tidak untuk wawancara. Hanya untuk belajar: apa itu hacking.

Sering sekali saya belajar dulu kepada seseorang sebelum melakukan wawancara. Itu juga yang saya ajarkan kepada wartawan baru. Sejak dulu. Pun sampai sekarang.

Saya pun ingat nama Shinta. Mungkin dia bisa mengajari saya: apa itu hack, siapa mereka, tujuannya ke mana, harus punya keahlian apa. Shanti saya anggap ahli di bidang IT. Sejak dulu.

Ternyata meleset.

“Maafkan bapak, saya tidak ahli hack, tidak pernah melakukan dan tidak tahu banyak,” ujarnyi. “Sekarang saya bergerak di platform start up. Juga di bidang gaming,” tambahnyi.

Saya pun mengurungkan niat menulis soal Bjorka. Toh yang ia bocorkan tidak ada yang sangat menarik. Isinya hanya nama, alamat, nomor telepon, dan status vaksinasi para tokoh. Memang ada sedikit yang gawat: nomor NIK. Bagaimana bisa nomor NIK jadi dagangan bebas seperti itu.

Bjorka tidak menampilkan info tokoh siapa melakukan apa. Tidak seperti Wikileak yang menghebohkan itu.

Kalau toh ada info nakal dari Bjorka, hanya sedikit. Juga belum tentu benar. Misalnya Luhut Pandjaitan ternyata belum pernah booster. Demikian juga Erick Thohir. Tapi saya meragukan info itu. Apa sih sulitnya booster sampai tokoh sentral seperti Luhut tidak melakukannya. Rasanya mustahil.

“Dari bahasa Inggrisnya terlihat Bjorka itu orang Indonesia,” ujar Praginanto, mantan redaktur TEMPO yang aktif di medsos. “Bahasa Inggris orang Barat asli tidak seperti itu,” ujar mantan wartawan Nikkei Jepang itu.

“Mungkin juga orang dari Eropa Timur. Atau orang kita yang tinggal di Eropa Timur,” ujar Praginanto.

Itu terlihat dari emosi Bjorka. Kelihatan sekali ia seperti punya dendam yang berat kepada negara ini. “Kayaknya kakek atau ayahnya pernah jadi korban kekejaman di zaman awal Orde Baru,” katanya.

Bocoran dari Bjorka juga tidak baru. Kan sudah sering ada bocoran seperti itu. Termasuk begitu banyak tawaran di bidang keuangan. Kok bisa tahu identitas yang ditawari.

Jadi, ya sudahlah. Level keamanan IT kita memang masih mudah dibobol. Toh nomor telepon, kita bisa ganti. Seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang langsung tidak mau lagi pakai WA. Ia merasa WA-nya dibobol orang.

Tapi NIK harusnya rahasia abadi. Orang kan tidak bisa mengganti NIK. Dan NIK Anda mungkin sudah bukan rahasia lagi. Juga NIK saya. Lantas apa gunanya NIK.

Maka lebih baik ikut Shinta saja: main game. Dulu Anda mengenal Shinta sebagai Shinta bubu.com. Yakni ketika dia masih bergerak di bidang web design. Kini Shinta lebih aktif sebagai investor di start up. Juga jadi penghubung start up dengan venture capital dunia. Dan yang terbaru Shinta jadi pemilik tim ESport terkemuka: Morph.

Berita terakhir: Shinta mengikutkan tim ESport-nyi ke kejuaraan dunia di Riyadh. Belum juara. Tapi bisa memenuhi syarat ikut kejuaraan dunia saja sudah hebat. Tim milik Shinta berakhir di peringkat delapan dunia. “Peringkat delapan saja hadiahnya Rp 1,2 miliar,” ujar Shinta.

Memiliki tim ESport itu, katanyi, seperti memiliki klub sepak bola di Eropa. Nama tim Shinta, Morph ESport, asli tim Indonesia. Morph artinya berubah. Menjadi anggota tim ESport harus pandai berubah; pandai menyesuaikan diri. “Tim ESport itu harus selalu kompak. Itu kuncinya,” katanyi.

Shinta terjun ke dunia game sejak mengetahui data ini: di Indonesia itu yang main game sebanyak 120 juta orang. Dari angka itu, separonya suka membeli permainan itu.

Betapa besar angka itu. Betapa hebat bisnis game dan yang terkait dengan itu.

Maka Shinta –nama lengkapnyi Shinta Dhanuwardoyo– bikin terobosan. Dia membangun tim ESport wanita. Anggotanyi juga lima orang. Semua dari Indonesia. “Dari 120 juta pemain game itu wanitanya 46 persen,” katanyi. “Tapi dalam setiap kompetisi, tim wanita selalu dianaktirikan,” katanyi. “Hadiah untuk tim wanita biasanya hanya 10 persen hadiah tim laki-kali,” tambahnyi.

Shinta pernah mengadakan turnamen game secara offline. Sebelum pandemi. Yang ikut 7.000 orang. Yang menonton secara streaming 1,5 juta orang.

Membangun tim ESport tidak murah. Shinta pilih membeli tim yang sudah jadi. Mirip di dunia sepak bola beneran. Jual beli tim ESport juga biasa. Tim itu punya value tersendiri. Saya pun melihat company profile tim milik Shinta itu. Mirip sekali dengan profile klub olahraga profesional di dunia nyata.

Tentu anggota tim Morph juga dibayar bulanan. Lebih tinggi dari pemain sepak bola Liga Indonesia. Sering ada kejuaraan antar tim ESport. Tapi masih belum ada liganya.

Shinta hanya lahir di Indonesia. Masa kecilnyi di Manila. Orang tuanyi adalah pejabat di Bank Pembangunan Asia –berpusat di Filipina. Dia kuliah di Oregon University dan melanjutkan S2 di Portland University, Oregon juga.

Tentu Shinta tetap menekuni komitmen sebelumnya: membina start up di Indonesia. Dia mendirikan platform startupindonesia.co. Dengan platform itu Shinta lebih menyederhanakan pekerjaan. “Sebelum itu terlalu banyak yang menyerbu telepon, email dan alamat saya. Sekarang semua saja silakan masuk ke platform itu,” kata Shinta.

Kebutuhan utama start up kita adalah modal. Mereka memerlukan venture capital. Lewat platform itu Shinta menghubungkan mereka ke venture capital dunia. “Start up kita itu 1.000 lebih. Yang sudah terhubung ke venture capital baru sekitar 200,” katanyi.

Shinta sendiri ikut investasi di banyak start up. Sebagian gagal. Tidak bisa berkembang. Shinta rugi banyak. Tapi ada juga yang berhasil. Misalnya Get Well yang bergerak di bidang kesehatan. Juga Together, aplikasi olahraga. Banyak orang ingin yoga, atau boxing, atau apa saja. Lalu cari teman. Cari tempat. Lewat aplikasi Together.

Begitulah. Saya benar-benar tidak jadi menulis tentang Bjorka. Anda pun pasti lebih senang membaca tentang Shinta. (Dahlan Iskan)

Tinggalkan Komentar