Kerajaan-kerajaan di Muara Sungai, Jejak Museum di Kalimantan
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mempunyai tradisi untuk menyimpan dan merawat warisan budaya. Tetapi ide yang berkembang di Barat tentang lembaga museum dan konservasi budaya baru berkembang di pertengahan abad 17 Masehi.
Sejak zaman prakolonial hingga zaman kolonial, penguasa-penguasa Kalimantan terbentuk dari bandar-bandar perdagangan. Bandar-bandar ini berkembang seiring peran sungai-sungai besar Kalimantan, sebagai satu-satunya jalur yang efektif untuk menyalurkan barang dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Riwayat perkembangan Kalimantan, sebagai satu wilayah di Indonesia yang sejak dahulu kala sangat ramai dengan keberadaan penghuninya, menarik perhatian peneliti Indonesia dari Prancis.
Bernard Sellato (68) adalah antropolog dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales (EHESS). Dia adalah generasi berikutnya dari sekolah yang melahirkan nama-nama besar seperti George Coedes dan Denys Lombard. Jurnal Archipel nomor 89 Tahun 2015 memuat tulisan Sellato tentang sejarah museum-museum di Kalimantan sejak zaman Orde Lama hingga zaman Reformasi.
Penguasa-penguasa yang muncul lazimnya berkedudukan di sekitar muara sungai. Besar kecilnya kekuasaan yang dimiliki para penguasa sangat bergantung dari seberapa banyak penguasa itu mempunyai daerah-daerah yang telah menjadi persekutuannya (vasal). Apa yang kemudian disebut sebagai kerajaan atau kesultanan di wilayah Kalimantan sebenarnya adalah perkembangan lanjut dari proses besar kecilnya kemampuan menguasai jalur perdagangan.
Pada akhir abad 19 masehi, di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kalimantan, terdapat lebih dari 25 penguasa wilayah. Kumpulan dari beberapa kerajaan atau kesultanan besar dan kecil ini membentuk jalinan para penguasa lengkap dengan hirarki kekuasaan yang menyambungkan wilayah pantai dan pesisir dengan daerah-daerah pedalaman.
Dari Swapraja Hingga Otda
Di zaman kekuasaan Hindia Belanda, antara abad 19 dan abad 20 Masehi, beberapa penguasa ini memilih untuk melakukan perlawanan dan beberapa lainnya memilih untuk bekerja sama. Penguasa-penguasa yang melawan Belanda rata-rata telah dilenyapkan.
Sedangkan yang bekerja sama seperti Kesultanan Kutai masih berkedudukan hingga tahun 30-an dengan status semiotonom. Istilah Belandanya Zelfbesturen atau Swapraja. Di pantai timur wilayah ini Belanda menemukan tambang minyak. Kerja sama dengan kesultanan selanjutnya berjalan di atas pembayaran royalti.
Singkat cerita, pasca-1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri mengukuhkan pijakannya dengan memberantas penguasa-penguasa daerah yang memberontak. Mereka yang menginginkan bentuk negara federal sampai dengan pertengahan 50-an dihapuskan. Rata-rata yang menginginkan bentuk negara federal adalah wilayah-wilayah yang sebelumnya mendapat status semiotonom dari Belanda. Hanya Jogjakarta yang menjadi perkecualian. Saat kekuasaan Sukarno dilengserkan oleh Soeharto, proses penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlanjut di zaman Orde Baru yang membentang dari akhir 60-an hingga paruh awal 90-an.
Saat Orde Baru runtuh datanglah zaman Reformasi akhir 90-an. Politik desentralisasi muncul sebagai salah satu amanat reformasi. Kebijakan otonomi daerah yang sebenarnya sudah muncul beberapa waktu sebelumnya segera diterapkan sepenuhnya. Kebijakan ini membagi sebagian kekuasan politik dan kekayaan ekonomi ke tingkat provinsi dan kabupaten. Potensi mengalirnya dana dari pendapatan asli daerah inilah yang mendorong berkembangnya identitas lokal yang muncul kembali di mana-mana, khususnya di tingkat kabupaten.
Sejarah Museum
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mempunyai tradisi untuk menyimpan dan merawat warisan budaya. Biasanya dalam bentuk pusaka. Tetapi ide yang berkembang di Barat tentang lembaga museum dan konservasi budaya baru berkembang di pertengahan abad 17 Masehi.
Tercatat naturalist Belanda bernama Georg Eberhard Rumpf’s alias Rumphius membuat konservasi Amboinsche Rariteitkamer. Terjemahan bebasnya koleksi langka dari Ambon. Selanjutnya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen alias Batavian Society of Arts and Sciences diresmikan di Jakarta pada 1778. Lembaga ini adalah lembaga yang didukung penuh oleh Thomas Stamford Raffles selama masa penguasaan Inggris atas Hindia Belanda di awal abad 19.
Tahun 1862 Batavian Society telah mempunyai gedung tetap. Bangunan ini bertahan hingga setelah kemerdekaan. Awal abad 20 beberapa daerah di Jawa seperti di Surakarta pada 1890, Surabaya pada 1900, dan Mangkunegaran di tahun 1918 meresmikan bangunan untuk menyimpan pusaka warisan seperti naskah kuno, pusaka, dan barang-barang antik.
Selanjutnya Belanda sejak 1915, atau mungkin sebelumnya, membuat bangunan museum di luar Jawa. Museum itu ditempatkan di daerah yang identitas kulturnya kuat, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, dan Bali. Pada saat ini sebagian koleksi yang sebelumnya ada di Batavian Society didistribusikan. Tahun 1925 dibentuklah the Royal Batavian Society. Pusat pengembangan ilmu pengetahuan budaya. Sebuah undang-undang perlindungan budaya muncul yakni Monumenten Ordnonnantie No, 238 tahun 1931. Selanjutnya selama kekuasaan Belanda sampai menjelang perang dunia kedua telah dibangun 16 (enam belas) museum. Dari jumlah ini belum ada yang dibangun di Kalimantan.
Setelah kemerdekaan, di tahun 1950 Batavian Society berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indoensia. Pemerintah kemudian membentuk dinas kebudayaan di beberapa provinsi pada 1952. Tahun 1957 berkembang menjadi Bagian Urusan Museum. Dari nama ini berkembang menjadi Lembaga Museum-museum Nasional, Direktorat Museum, dan Direktorat Permuseuman pada 1975.
Sementara itu pada 1962 Batavian Society diserahkan kepada negara. Museumnya berubah menjadi Museum Pusat atau Museum Nasional yang terletak di Merdeka Barat. Museum ini adalah salah satu yang tertua di Asia. Saat ini semua itu diatur oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi di awal 70-an membuat perkembangan museum menemukan momentumnya. Direktorat Museum pada saat itu melakukan renovasi monumen-monumen warisan kolonial dan meningkatkan kualitas museum-museum di daerah. Salah satunya dengan mempekerjakan staf museum yang dididik di luar negeri. Standar-standar internasional juga diterapkan. Indonesia bergabung dengan ICOM (Konsili Internasional Museum) tahun 1970. Tetapi momentum paling menentukan adalah dibangunnya Taman Mini Indonesia Indah, tahun 1975.
Hingga akhir Pelita III atau sekitar tahun 1984 dari 26 museum yang ada di ibu kota provinsi telah ditingkatkan mutunya. Pada 1990 berkembang menjadi 140 museum yang dimiliki negara dan swasta. Pada 2000 telah berkembang menjadi 262 museum. (Y-1). (indonesia.go.id)
BACA JUGA