Disdikbud Bedakan Menu Program MBG pada Siswa Disabilitas

Wali Kota Samarinda Andi Harun meninjau uji coba makan bergizi gratis di Samarinda. (dok/Kaltim Faktual)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada siswa disabilitas memerlukan penyesuaian pada menu makanan. Sebab ada bahan makanan yang harus dihindari.

Program prioritas Presiden Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis pelaksanaannya mulai meluas pada Februari 2025 ini. Terutama dari segi jumlah titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan jumlah pelajar yang menerima.

Terdapat sekitar 190 titik SPPG pelaksana Makan Bergizi Gratis di berbagai daerah. Sejauh ini, program telah menjangkau sekitar 600 ribu pelajar. Sementara di Kaltim, baru terlaksana di Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Samarinda. Mencapai 24 sekolah.

Secara bertahap, program itu ditargetkan menyasar seluruh anak sekolah di Indonesia. Baik itu TK, SD, SMP, hingga tingkatan SMA. Selain itu, Program Makan Bergizi Gratis juga menyasar ibu hamil, juga anak-anak penyandang disabilitas.

Jamak diketahui, anak-anak penyandang disabilitas memiliki kebutuhan makan yang sedikit berbeda. Makanan yang tidak boleh diberikan biasanya sesuai dengan kondisi spesifik masing-masing anak. Namun secara umum ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian.

Misalnya, tidak boleh mengonsumsi makanan dengan banyak pemanis buatan atau gula, makanan yang mengandung gluten atau berbahan tepung-tepungan, makanan cepat saji, makanan yang mengandung banyak MSG, hingga makanan dengan kandungan lemak jenuh tinggi.

Plt. Kepala Disdikbud Kalimantan Timur, Rahmat Ramadhan menyebut memastikan pihaknya akan melakukan penyesuaian menu untuk anak disabilitas sesuai dengan kebutuhan. Menu makanan bakal dirancang khusus.

“Iya karena anak disabilitas tidak bisa ada tepung, tidak bisa manis-manis, jadi tidak akan dikasih ayam tepung, itu tidak bisa. Diganti dengan menu ayam bistik,” katanya belum lama ini.

Rahmat menyebut, tim Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga telah berkoordinasi dengan orang tua siswa dan guru terkait kebutuhan gizi  bagi anak penyandang disabilitas di Kaltim. “Kemarin sudah simulasi, sekolah biasa dan SLB mudah dilakukan dengan berbeda.”

Untuk penambahan jumlah sekolah di Kaltim, Rahmat menyebut listing sekolah bergantung pada posisi dapur. Kemudian sekolah yang menjadi penerima manfaat berikutnya, merupakan sekolah dengan radius beberapa kilometer dari dapur.

“Kewenangannya di badan gizi. Di provinsi hanya menyediakan murid-murid nya. Kalau dari (pemerintah) provinsi siap saja di manapun. Kami hanya perlu dapurnya dulu di mana.”

“Dapurnya di mana, baru list sekolahnya mana saja. Ada radius-nya 6 kilo atau 30 menit,” pungkasnya. (*/kf/nus)

Tinggalkan Komentar