BUDAYA+

Menentukan Awal Puasa dan Lebaran

Tahun 2023, untuk kedua kalinya, Indonesia memakai kriteria baru untuk penetapan awal puasa 1 Ramadan dan Idulfitri 1 Syawal berdasarkan pengamatan atau rukyat dan perhitungan (hisab). ANTARA FOTO/ Akbar Nugroho Gumay

Kriteria baru hasil kesepakatan sejumlah Menteri Agama, yakni dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura menghasilkan titik temu menentukan awal puasa dan lebaran.

Tahun 2023, untuk kedua kalinya, Indonesia memakai kriteria baru untuk penetapan awal puasa 1 Ramadan dan Idulfitri 1 Syawal berdasarkan pengamatan atau rukyat dan perhitungan (hisab).

Semula, untuk menentukan kriteria hilal (bulan) awal hijriah dilakukan berdasarkan tinggi minimal 2 derajat dan elongasi atau jarak sudut bulan ke matahari minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8 jam.

Pada kriteria baru, ketentuan tadi berubah menjadi tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Hal itu berdasarkan hasil pertemuan sejumlah Menteri Agama, di antaranya dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2012 untuk mengkaji ulang cara menentukan awal bulan hijriah, khususnya untuk puasa dan lebaran.

Pertemuan itu juga sepakat bahwa penetapan awal hijriah tak hanya seputar aspek saintifik, melainkan juga perlu dilihat dari aspek syariah, sosiologis, dan psikologis. Selanjutnya, pada Muzakarah Rukyat dan Takwim Islam MABIMS pada 2016 di Kuala Lumpur, Malaysia, diumumkan usulan kriteria baru seperti diungkapkan di awal tulisan.

Kemudian hal itu diperkuat oleh Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta yang menghasilkan Rekomendasi Jakarta pada 2017 dan sepakat akan diterapkan pada 2018, tapi urung dilakukan sampai 2021. Baru pada 2022 mulai diterapkan oleh Indonesia untuk menentukan awal Ramadan dan Idulfitri 1443 Hijriah.

Demikian dikatakan peneliti astronomi dan observatorium Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Abdul Mufid dalam diskusi “Kajian Implementasi Kriteria Baru MABIMS Menuju Unifikasi Kalender Hijriah: Pendekatan Multidisipliner” di Jakarta, Kamis (2/3/2023). Unifikasi atau proses penyeragaman dalam kajian fikih memperhatikan pendapat ahli fikih (fukaha) yang terbagi menjadi dua pandangan besar, yakni rukyat global dan rukyat lokal.

Ada yang cenderung ke rukyat global (Hanafi, Maliki, dan Hambali) dan ada yang condong kepada rukyat lokal sekitar radius 120 kilometer (Syafi’iyah). Mufid kemudian melakukan kajian lebih mendalam terkait implementasi kalender Hijriah melalui pendekatan multidisipliner (kajian fikih, kajian astronomi, dan kajian sosial-politik). Menurut pandangan fikih, dari teori Thomas Kuhn, bahwa wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi pergeseran paradigma (shifting paradigm).

Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global. “Dari pandangan fikih dimungkinkan wilayah keberlakuan kalender hijriah bisa bersifat global, walau keberlakuan lokal masih berlaku di banyak negara yang terkait juga dengan pandangan untuk pembuktian secara rukyat (pengamatan) hilal,” ujar Mufid seperti dikutip dari website BRIN.

Ia menambahkan kajian astronomi berkontribusi pada usulan kriteria visibilitas hilal. Secara umum, untuk memprediksi visibilitas hilal, parameter berikut sering digunakan yaitu umur bulan, selisih waktu terbenam matahari dan bulan, elongasi, beda tinggi (ARCV), beda azimut (DAZ), dan tebal hilal. Setidaknya ada tiga persyaratan untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan, misalnya ada kesepakatan batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global), ada kesepakatan otoritas tunggal yang menetapkannya, dan ada kriteria yang disepakati.

Kriteria MABIMS dalam penentuan awal bulan hijriah menurut Mufid perlu diterima berbagai kalangan umat dengan enam alasan. Yaitu, kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang, parameter dalam kriteria MABIMS merupakan yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yakni ketinggian hilal dan elongasi. Selanjutnya, parameter yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal.

Selain itu, lewat kriteria baru yang dikenal sebagai Neo MABIMS ini menjadi sebuah titik temu bagi pengguna metode rukyat seperti Nahdlatul Ulama dan metode hisab semisal Muhammadiyah. Melalui pendekatan multidisiplin fikih, astronomi, dan sosial politik, terungkap bahwa unifikasi kalender hijriah perlu suatu kesepakatan mengenai batas wilayah pemberlakuan, kriteria, dan otoritas. Kriteria Neo MABIMS itu menurut Mufid hanya salah satu persyaratan untuk terjadinya unifikasi kalender hijriah.  

Mufid berpesan, kendati kriteria Neo MABIMS sudah menjadi kesepakatan di antara negara-negara MABIMS, namun dalam implementasinya perlu disosialisasikan lebih luas lagi. “Sosialisasi diperlukan untuk mendapatkan kesepakatan secara internal nasional, khususnya kesepakatan antarormas Islam. “Untuk diperluas menjadi kalender Islam global, juga diperlukan kesepakatan secara global pula,” ucapnya.

Perlu Kesepakatan

Sementara itu, peneliti astronomi dan astrofisika BRIN Thomas Djamaluddin turut menambahkan bahwa belum seragamnya penerapan kriteria Neo MABIMS menyebabkan masih terjadinya perbedaan di dalam menentukan awal Ramadan dan Idulfitri. Oleh sebab itu diperlukan kriteria yang harus disepakati bersama terlebih dulu untuk penentuan awal bulan hijriah.

Pasalnya, rukyat perlu verifikasi kriteria supaya tidak keliru dalam perhitungan dan hisab tidak bisa untuk menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria. “Sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat,” ungkap Thomas dalam acara diskusi BRIN Insight Every Friday, Jumat (3/3/2023).     

Thomas menyebut, ada potensi kesamaan penetapan awal Ramadan 1444 Hijriah. Itu dapat terjadi apabila saat maghrib 22 Maret 2023 di Indonesia posisi bulan sudah memenuhi Neo MABIMS yaitu kriteria 3-6,4 dan hilal. Sehingga seragam bahwa 1 Ramadan 1444 Hijriah jatuh pada 23 Maret 2023. Pada sisi lain, ia juga menyebutkan ada potensi perbedaan dalam penetapan Idulfitri 1444 Hijriah karena pada saat maghrib 20 April 2023 posisi bulan ada kemungkinan belum memenuhi kriteria Neo MABIMS.

Sebaliknya, posisi bulan sudah memenuhi metode hilal dan membuat Idulfitri 1 Syawal 1444 Hijriah diperingati dalam dua waktu berbeda, versi Neo MABIMS akan merayakannya pada 22 April 2023 dan pengguna metode hilal akan melangsungkannya pada 21 April 2023. Thomas menyebut, agar unifikasi kalender hijriah dapat terwujud, maka harus ada penetapan oleh otoritas tunggal dan batas tanggalnya bisa diikuti bersama.      

Ia menyarankan, otoritas tunggal mungkin bisa diwujudkan dulu di tingkat nasional atau regional. Penentuan ini mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum (wilayatul hukmi) sesuai batas kedaulatan negara. (red)

Sumber: Indonesia.go.id

Comments

POPULER

To Top