Harga Pertalite Segera Naik, Jokowi: Menahan Harga itu Berat
Harga minyak mentah merangkak naik. Tingkat konsumsi BBM jenis bensin di luar kendali. Pemerintah mulai memberi sinyal tak sanggup menanggung beban subsidi BBM lagi. Asumsi pilihannya antara dua; stok pertalite dikurangi, atau harganya dinaikkan.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan kenaikan harga pertalite sangat mungkin terjadi. Karena harga minyak dunia sedang tak bersahabat.
Berdasar laporan CNN, per 13 Agustus 2022. Harga minyak mentah jenis Brent naik US$2,20, atau 2,3 persen menjadi US$99,60 per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup naik US$2,41, atau 2,6 persen menjadi US$94,34 per barel.
Harga minyak saat ini menjadi masalah karena kata Bahlil, jauh di atas perkiraan APBN 2022 yang hanya US$63 hingga US$70 per barel.
“Sekarang harga minyak dunia rata-rata dari Januari sampai Juli US$105 per barel. Hari ini kalau US$100 per barel subsidi kita itu bisa mencapai Rp 500 triliun.”
“Tetapi kalau harga minyak per barel di US$105 kemudian dengan asumsi kurs dollar APBN rata-rata Rp 14.750 dan kuota kita dari 23 juta kilo liter menjadi 29 juta maka terjadi penambahan subsidi,” katanya dalam konferensi pers Jumat (12/8).
Bahlil mengatakan pemerintah masih terus menghitung berbagai kemungkinan. Soal jebolnya kuota subsidi BBM. Untuk sementara ini, hasil perhitungan pemerintah menyebut jika anggaran yang dibutuhkan untuk subsidi BBM mencapai Rp 500 hingga Rp 600 triliun.
Jika kedodoran anggaran ini berkepanjangan, Bahlil bilang APBN lama-lama akan bermasalah. Karena jumlah subsidi di atas, mencapai 25 persen porsi APBN.
“Jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat rasa-rasanya sih untuk menahan terus harga BBM seperti sekarang, feeling saya (tidak kuat). Ini tidak sehat.”
“Mohon pengertian baiknya. (Jadi) harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi,” katanya.
Terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan subsidi energi berpotensi tembus Rp 1.000 triliun tahun ini.
Arifin mengungkapkan proyeksi subsidi Rp 1.000 triliun itu dihitung dengan skenario terburuk jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mencapai US$200 per barel.
Terakhir kali, Kementerian ESDM menetapkan ICP turun US$10,89 dari US$117,62 per barel menjadi US$106,73 per barel pada Juli 2022.
“Kalau worst case bisa jadi US$200 per barel. Kalikan saja sekian triliun (subsidi energi saat ini) kali dua saja. Gampang-gampangnya begitu,” ujar Arifin.
Jika mengikuti skenario itu dengan asumsi ICP bakal tembus US$200 per barel, maka subsidi energi berpotensi bengkak mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga menyadari akan potensi pembengkakan itu. Ia menyebut pemerintah saat ini tengah menghitung ulang kebijakan subsidi BBM. Hal ini dilakukan karena selama ini subsidi BBM masih kurang tepat sasaran. Alias banyak ‘disikat’ oleh orang-orang menengah ke atas.
“Apakah subsidi yang sekarang diberikan pemerintah sudah tepat sasaran?”
“Apakah kita harus menutup mata memberikan subsidi kepada yang mampu, sedangkan rakyat yang mayoritas memerlukan subsidi lebih, ini yang sedang dicarikan jalan oleh pemerintah, menkeu, menteri ESDM,” katanya.
Selain itu, evaluasi kebijakan subsidi BBM juga dilakukan terkait perkembangan harga minyak dunia dewasa ini.
“Khususnya harga BBM, pemerintah sudah memberikan subsidi sampai Rp 502 triliun, itu untuk BBM dan listrik. Saya rasa tidak banyak negara seperti itu. Tapi saya lihat harganya tidak turun turun, makanya ini jadi pemikiran,” pungkas Erick.
Presiden Jokowi Mulai Menyerah
Usai memelajari laporan para menterinya, Presiden Joko Widodo menunjukkan tanda-tanda sikap realistisnya terhadap subsidi BBM. Ini semakin menguatkan sinyalemen harga pertalite segera naik. Masyarakat perlu siap-siap.
Pelik harga pertalite serta harga BBM bersubsidi lainnya. Terus dibahas dalam rapat-rapat kementerian dan BUMN terkait. Evaluasi dan perhitungan semakin menjelaskan, bahwa negara perlu menaikkan harga pertalite. Kalau tidak ingin beban APBN semakin memberatkan negara.
Jokowi mengatakan upaya pemerintah untuk menahan harga BBM cukup berat.
Bila membandingkan harga BBM dalam negeri dengan negara lain. Seperti Singapura dan Jerman. Harga BBM di Indonesia tergolong sangat murah. Di negeri singa, harga bensin mencapai Rp 27 ribu seliternya. Sementara di Jerman mencapai Rp 31 ribu per liter.
“Kita ini Pertalite Rp 7.650 (per liter), Pertamax Rp 12.500 (per liter). Negara lain sudah jauh sekali. Kenapa harga kita masih seperti ini? Karena kita tahan terus, tapi subsidi makin besar. Sampai kapan kita begini? Ini PR kita semua, menahan harga itu berat,” kata Jokowi mengutip dari CNN.
Dalam kesempatan lain, Jokowi mengatakan tidak ada negara mana pun yang sanggup menyubsidi BBM hingga Rp 502 triliun seperti Indonesia.
“Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp 170 triliun sekarang sudah Rp 502 triliun. Negara mana pun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu,” kata Jokowi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi alternatif selain menaikkan harga BBM. Yakni mengendalikan konsumsi BBM subsidi. Alias pembatasan stok.
“Tentu saya berharap Pertamina untuk betul-betul mengendalikan volumenya, jadi supaya APBN tidak terpukul,” ujar Ani, sapaan akrabnya.
Alokasi subsidi dan kompensasi energi bisa melebihi pagu anggaran APBN (Rp 502 triliun). Jika volume penyaluran BBM bersubsidi tidak diatur dengan baik.
“Meskipun APBN-nya bagus, surplus sampai Juli, tapi tagihannya nanti kalau volumenya tidak terkendali akan semakin besar di semester dua,” lanjut Ani.
Mengutip data Pertamina, penyaluran BBM subsidi jenis pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter (kl) hingga Juli 2022. Artinya kuota pertalite hingga akhir tahun hanya tersisa 6,25 juta kl dari total kuota yang ditetapkan tahun ini, 23,05 juta kl.
Lalu, penyaluran BBM subsidi jenis solar telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Dengan demikian, sisa kuota solar hingga akhir tahun hanya tersisa 5, juta kl dari total kuota 15,1 kl.
Terpisah, Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman setuju dengan pernyataan Sri Mulyani. Ia mengatakan jika tidak dibatasi, maka kuota BBM subsidi yang sudah ditetapkan bakal habis sebelum akhir tahun.
Apalagi, sejak harga pertamax naik, tren konsumsi BBM subsidi menanjak karena banyak masyarakat yang beralih ke pertalite.
“Tentu jika tidak dikendalikan maka kita akan hadapi solar habis di Oktober atau November. (Pertalite) juga, jika tidak dilakukan pengendalian maka kita prognosa di akhir 2022 kuota kita akan di atas realisasi,” kata Saleh. (DRA)
BACA JUGA