Mengubah Gunung Menjadi Kapas
“Wa takunul jibal kal ‘ihnil manfusy (dan gunung-gunung laksana bulu yang dihambur-hamburkan/Q.S. al-Qari’ah-5). Ayat ini bisa dipahami bahwa beban sebesar gunung di pundak pun bisa terasa ringan laksana bulu atau kapas yang beterbangan.
Sebaliknya problem yang seringan bulu atau
dapat berubah seberat gunung. Di sinilah pentingnya paradigma positif. Besar-kecil dan berat-ringannya sebuah problem dan tantangan sangat ditentukan oleh paradigma kita.Pengalaman Nabi membuktikan hal tersebut di atas. Ketika istri dan sekaligus pelindung dan sumber energinya meninggal, maka Nabi merasa betul-betul terpukul. Tahun itu dikenal dengan tahun kesengsaraan (‘am al-khazn).
Nabi pernah kehilangan ayah semasa dalam kandungan, kehilangan ibu semasih ia berumur lima tahun, kehilangan kakek semasa ia masih kecil, kehilangan paman semasih ia menanjak dewasa, dan kali ini kehilangan isteri tercinta saat ia betul-betul masih membutuhkan pendampingan dan pelindung.
Nabi seperti merasa kehilangan segalanya, sehingga hari-hari berikutnya jarang tinggal di rumahnya. Ia lebih banyak tinggal di luar. Beban yang harus dipikul Nabi betul-betul seperti gunung. Satu sisi ia membutuhkan pelindung, biaya, dan support yang selama ini diemban oleh isterinya tiba-tiba ia harus kehilangan.
Dalam keadaan terpukul berat, Nabi memasrahkan diri kepada Allah Swt. Akhirnya Nabi diperjalankan ke puncak Sidratil Muntaha yang lebih dikenal dengan Isra’ Mi’raj yang diawali dengan beberapa peristiwa penting.
Malam itu ia “dibelah” dadanya lalu dicuci dengan air zam-zam, kemudian diperjalankan ke Mesjid Aqasha, di Palestina, kemudian ke puncak Sidratil Muntaha. Malam itu juga ia turun kembali dengan suasana yang amat kontras.
Kalau malam harinya ia frustrasi dan seperti kehilangan semangat, maka di pagi hari ia kelihatan sangat bersemangat. Hari itu juga ia mengumpulkan para sahabatnya untuk menyusun program berikutnya.
Dalam waktu tidak lama ia memutuskan untuk hijrah ke Yatsrib dengan semangat yang membara dan program yang strategi dakwah yang amat brillian. Jika kemarin ia seperti memikul beban yang menggunung, kali ini beban itu beterbangan laksana debu dan kapas tanpa memberi beban apapun.
Bukan hanya Nabi yang mampu mengubah beban yang menggunung menjadi kapas beterbangan. Adalah Ibn Hajar Al-‘Asqallani, ulama besar dan penulis produktif, yang menulis syarah kitab Shahih Bukhari dan sejumlah kitab yang berjilid-jilid lainnya.
Kisahnya bertahun-tahun belajar di Kairo tetapi pengetahuannya tidak pernah berkembang. Ia memilih untuk pulang kampung membantu orang tuanya. Sambil istirahat dan di dalam gua menghindari terik matahari padang pasir di siang bolong, matanya tertuju pada tetesan air di dalam gua yang berhasil membuat lubang dalam di dalam batu cadas.
Dia menarik kesimpulan bahwa air yang selembut itu bisa mengubah batu cadas karena tetesannya yang non-stop, kenapa saya tidak bisa dan kenapa saya harus gagal. Dengan penuh semangat ia balik kanan menuju ke Mesir mengurungkan niatnya untuk pulang kampung.
Akhirnya Ibnu menjadi penulis produktif. Jika seluruh umurnya dikalikan dengan jumlah halaman karya tulisannya maka ia menulis tidak kurang 10 halaman setiap hari. Kita yakin kalau kita semua bisa melakukan hal yang sama dilakukan oleh Nabi dan Ibnu Hajar. (***)
*Disusun oleh Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal.
BACA JUGA